Pada hari Minggu tanggal 18 Agustus 2019 lalu, sebanyak 24 siswa/I kelas XI SS SMA Negeri Plus Provinsi Riau dan 2 orang guru pendamping melakukan kegiatan penelitian di desa Koto Tuo, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Kegiatan ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana proses kehidupan masyarakat desa Koto Tuo Kecamatan XIII Koto Kampar yang daerahnya terletak di perbatasan Riau dan Sumatera Barat.
Tujuan dari kegiatan ini adalah ingin mengetahui perubahan sosial yang terjadi akibat perpindahan masyarakat yang dulunya berada di kawasan danau PLTA Koto Panjang. Geografis Desa Koto Tuo merupakan salah satu Desa di Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar. Desa ini berjarak 5 KM dari situs budaya candi Muara Takus. Desa Koto Tuo merupakan desa yang perkebunannya didominasi oleh karet. Hal ini disebabkan pada tahun 1993 desa Koto Tuo yang awalnya berada di danau PLTA Koto Panjang, di pindahkan oleh pihak pemerintah karena desa mereka akan ditenggelamkan untuk menjadi sumber tenaga pembangkit listrik di daerah tersebut. Perpindahan ini menuai kontroversi dari pihak masyarakat desa.
Para masyarakat desa menolak untuk dipindahkan ke daerah yang telah ditentukan. Setelah

melakukan kesepakatan, para masyarakat desa setuju dipindahkan ke lokasi yang telah ditentukan oleh pihak pemerintah dan diberikan ganti rugi berupa rumah dan sebidang perkebunan karet seluas 2 Ha. Mayoritas mata pencaharian masyarakat desa Koto Tuo saat ini adalah petani karet dan nelayan. Bahasa yang digunakan masyarakat desa Koto Tuo adalah bahasa ocu, dengan mayoritas agama Islam. Ada lima suku yang tinggal di desa Koto Tuo yaitu; Pitopang, Piliang, Chaniago, Domo, Melayu. Masing-masing pucuk suku memiliki gelar yang berbeda-beda. Pucuk suku Pitopang bergelar Datuok Majokayo, Pucuk suku Chaniago bergelar Paduko Rajo dan Paduko Tuan, Pucuk suku Melayu bergelar Sindaro Kayo dan Datuok Kayo, Pucuk suku Domo bergelar Gindo Marajo, jalang Koto, Datuok Sati; dan Pucuk suku Piliang bergelar Datuok Masi.

Pemberian gelar pucuk suku diwariskan berdasarkan garis keturunan. Pewarisan gelar ini disertai pemotongan hewan ternak dengan jenis yang berbeda. Pulang Limogo adalah adat pewarisan gelar yang pemotongan hewan ternaknya berupa ayam, dan syukuran yang dilakukan sebatas keluarga dan kerabat dekat. Pulang Pisoko yaitu adat pewarisan gelar dengan hewan yang dipotong berupa kambing dan syukuran yang diadakan mengundang warga sekampung atau sesuku. Sedangkan Pulang Soko yaitu adat pewarisan gelar yang dilakukan dengan pemotongan kerbau dan memanggil warga se-negeri untuk melakukan syukuran.
Setiap tahunnya, setelah lebaran masing-masing suku mengadakan Jalang-jalangan atau halal bi halal antar suku yang diadakan di Balai desa. Pewaris gelar yang sudah melakukan syarat pewarisan gelar sudah boleh menjadi perwakilan suku untuk menghadiri acara ini. acara ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekeluargaan antar suku. Biasanya acara-acara yang dilakukan di desa Koto Tuo diawali dengan bakar kemenyan sebagai tanda dimulainya acara tersebut. Ada juga beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat desa, salah satunya adalah pernikahan sesuku.
Warga desa akan dikeluarkan dari suku dan tidak boleh berdomisili di desa jika melakukan pernikahan sesuku. Warga desa juga diwajibkan untuk sholat di mesjid. Jika bertamu ke rumah orang, si tamu tidak boleh melihat lebih jauh kedalam rumah sebelum diizinkan sang tuan rumah. Semoga penelitian sosiologi kelas XI SS bermanfaat bagi mereka sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan mereka dalam memahami perubahan sosial di masyarakat.

By fadhly

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *